alzheimer
A L Z H E I M E R
A. PENDAHULUAN
Penyakit Alzheimer merupakan suatu kerusakan bersifat progresif pada otak
yang dapat menyebabkan kemunduran ingatan, kemampuan berbicara, persepsi ruang
dan waktu dan pada akhirnya tidak bisa untuk merawat diri sendiri. Penyakit
Alzheimer (AD) pertama kali
dikarakterisasi oleh DR. Alois Alzheimer seorang psikiater yang berasal dari
Jerman pada tahun 1907. Penyakit Alzheimer adalah suatu demensia progresif yang
mempengaruhi fungsi kognitif, yang ditandai oleh kematian luas neuron-neuron
otak, terutama didaerah otak yang disebut nucleus basalis. Pada kondisi yang
parah penderita penyakit Alzheimer ini akhirnya kehilangan semua kemampuan
kognitif, analitik, fungsi fisik, dan akhirnya penyakit ini dapat fatal.
Kematian dapat terjadi setelah 5 sampai 10 tahun gejala awal ditemukan
Mekanisme fatofisiologi
tepatnya belum jelas diketahui, dan pengobatannya pun belum ada. Meskipun obat dapat mengurangi gejala untuk
sementara, penyakit biasanya fatal. Penyakit ini juga ikut mempengaruhi
penderita. Penderita pada kondisi parah
, lupa segala sesuatu yang ada disekelilingnya. Seperti jalan menuju rumah,
dimana meletakkan benda tidak tahu nomor telepon miliknya sendiri, sulit
berhitung dan berkomunikasi, bahkan tidak dapat mengenakan pakaian dan tidak
mampu menahan kencing. Penderita secara perlahan menjadi asing dilingkungannya,
mereka tidak dapat mengenali lagi keluarga, teman dan tetangganya. Personalitas, memori dan kemampuan fungsional
hilang, akhirnya mereka bertindak seperti anak kecil yang membutuhkan pertolongan untuk melakukan aktivitas seperti
makan, mandi, dll. Kebutuhan untuk dilindungi dan dibantu akan meningkat terus
dengan berjalannya waktu sampai akhirnya secara total bergantung pada perhatian
dari keluarga dan orang lain untuk semua kebutuhan dasarnya.
B. PREVALENSI DAN EPIDEMIOLOGI
Sekitar 18 juta orang di dunia diperkirakan menderita
penyakit Alzheimer, 50% di antaranya berada di negara berkembang. Jumlah kasus
penyakit Alzheimer di Asia, dan sebagian India dan Afrika lebih rendah dari
yang terjadi di negara-negara barat. Prevalensi meningkat dengan peningkatan
usia. Penyakit Alzheimer muncul lebih jarang pada usia 40-50 tahun, meningkat
pada usia 50-65 tahun, dan sering terjadi pada usia di atas 80 tahun. Pada
bulan November 2000, National Institute
on Ageing (NIA) menyatakan hampir 50% penduduk Amerika di atas usia 85
tahun menderita penyakit Alzheimer.
Riset di India dan Afrika menunjukkan resiko penyakit Alzheimer lebih
tinggi di daerah urban daripada di daerah rural. Penyakit Alzheimer dua kali
lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria. Orang yang berpendidikan
tinggi memiliki resiko lebih rendah terkena penyakit Alzheimer dibandingkan
dengan orang yang berpendidikan rendah.
Alzheimer
adalah penyakit urutan keempat yang paling banyak menyebabkan kematian pada
penduduk lansia USA. Alzheimer tidak meyebabkan kematian secara langsung, tapi
secara tidak langsung diantaranya dengan menurunkan kekebalan tubuh pasien
sehingga mengalami sepsis dan pneumonia juga bisa menyebabkan tersedak, sesak
nafas, defisiensi nutrisi, dan trauma. Sekitar 100 ribu penderita penyakit
Alzheimer meninggal setiap tahun. Karena kebanyakan penderita Alzheimer tidak
mendapat pengobatan pada tahap awal penyakit, maka sangat sulit untuk memprediksikan
waktu bertahan hidup sejak onset penyakit, tetapi diperkirakan sekitar 3-20
tahun. Penelitian terbaru pada penduduk Kanada menunjukkan bahwa rata-rata
penderita dapat bertahan hidup setelah didiagnosis adalah 3,3 tahun. Penyakit
Alzheimer jarang terjadi pada usia muda kecuali pada penderita Down Syndrome.
C. PENGGOLONGAN
PENYAKIT
Berdasarkan hereditas, penyakit Alzheimer dapat diklasifikasikan menjadi
dua, yaitu :
1. Familial Autosomal Dominant adalah Alzheimer yang muncul karena
keturunan. Jumlahnya 5-10 % dari penderita Alzheimer. Alzheimer yang
bersifat keturunan diasosiasikan dengan onset yang cepat, progresi yang lebih
cepat, sejarah gangguan kejiwaan dalam keluarga dan kesulitan dalam berbicara.
2. Sporadic Alzheimer’s Disease adalah penyakit Alzheimer yang muncul
karena usia tua. Jumlahnya 90-95 % dari penderita Alzheimer.
Berdasarkan waktu munculnya penyakit, Alzheimer juga
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1. Penyakit Alzheimer onset dini, yang terjadi
pada orang dengan usia di bawah 65 tahun, disebut juga dementia pre-senile.
Jenis ini sekitar 5-10 % dari kasus yang terjadi, dan terjadi pada usia antara
30-65 tahun.
2.
Penyakit
Alzheimer onset lambat (Late Onset Alzheimer’s Disease, LOAD), yang merupakan
jenis paling umum dari penyakit ini, biasanya terjadi pada orang usia di atas
65 tahun, disebut juga senile dementia
Alzheimer’s Type, SDAT.
D. ETIOLOGI
Penyebab pasti dari
penyakit Alzheimer belum diketahui, namun dipercaya bahwa interaksi antara
faktor genetik, lingkungan, dan gaya hidup adalah penyebab potensial penyakit
ini. Genetik berperan signifikan dalam dementia pada tipe Alzheimer. Ada 3 gen
yang bersifat kausatif (gen kausatif) yang telah diidentifikasi pada penderita
Alzheimer. Hampir semua kasus Alzheimer early
onset ditandai dengan adanya mutasi pada kromosom 1, 14, atau 21. Kromosom 14
memproduksi protein yang disebut presenilin 1, sedangkan kromosom 1 memproduksi protein dengan
struktur yang sama, yang disebut presenilin 2. Kedua protein ini dikode untuk
protein membran yang mungkin terlibat dalam pemrosesan prekursor protein
amiloid (PPA). Diduga, namun belum terbukti, bahwa presenilin adalah
φ-sekretase sendiri atau mungkin mempengaruhi aktivitas φ-sekretase. PPA dikode
dalam kromosom 21. Hanya sedikit kasus Alzheimer early onset yang dikaitkan dengan mutasi pada gen PPA, yang
menghasilkan over produksi protein β-amiloid (βAP).
Faktor Resiko
Faktor resiko adalah faktor yang berhubungan dengan
perkembangan keparahan penyakit, bukan berarti merupakan penyebab yang pasti.
1. Faktor usia
Resiko Alzheimer makin tinggi
secara eksponensial seiring pertambahan umur. Tetapi ini tidak berarti bahwa
seseorang dengan umur tersebut atau berada di sekitar umur tersebut pasti
menderita Alzheimer.
2. Faktor genetik
Kerentanan genetik terhadap
Alzheimer, diduga terutama dipengaruhi oleh genotif apolipoprotein E (apo E).
Gen yang bertanggung jawab untuk produksi apo E terletak pada kromosom 19 yang
sering dikaitkan dengan kasus Alzheimer late
onset. Terdapat 3 alel utama dari apo E yaitu apo E2, apo E3, dan apo E4.
Manusia mewarisi satu kopi gen apo E dari masing-masing orang tuanya. Apo E3
adalah tipe yang paling umum yaitu 40-90% populasi, sedang apo E2 dan E4
frekuensinya lebih jarang. Apo E4 adalah faktor resiko bagi perkembangan
Alzheimer. Namun derajat resiko tergantung faktor jumlah kopi dari alel E4,
umur, etnis, dan gender. Sekitar 40% penderita Alzheimer late onset memiliki paling sedikit 1 kopi alel E4. Individu yang
homozigot dengan apo E4 resikonya lebih besar dan 90% orang yang mewarisi 2
kopi apo E4 akan terkena Alzheimer sampai usia 80 tahun. Selain itu,
onsetnya juga terjadi pada usia yang
relatif lebih muda dibanding penderita yang tidak punya atau hanya punya 1 kopi
alel E4. Pada orang kulit putih, pewarisan 1 kopi apo E4 resikonya lebih besar
dibanding campuran Afrika-Amerika. Resiko juga tergantung pada gender, dimana
pewarisan alel E4 pada wanita meningkatkan resiko dibanding pria. Pewarisan apo
E2 melindungi dari Alzheimer.
Meskipun
pewarisan alel E4 meningkatkan resiko Alzheimer, hal tersebut bukanlah yang
paling esensial dalam diagnosa Alzheimer, karena Alzheimer juga terjadi pada
orang yang tidak punya alel E4 dan tidak semua orang yang mempunyai 2 kopi alel
E4 menderita Alzheimer. Penelitian di India dan Nigeria melaporkan bahwa
apolipoprotein E4 diketahui memiliki efek pada metabolisme kolesterol, sehingga
diduga diet tinggi lemak menjadi faktor yang berinteraksi dengan ApoE4 untuk
meningkatkan resiko Alzheimer.
Pada awal
tahun 2003, para peneliti di Swiss mengidentifikasi gen lain, yaitu CYP46, yang
ketika bermutasi juga bisa meningkatkan resiko penyakit Alzheimer onset lambat.
Gen ini memegang peranan penting untuk membawa kolesterol dari otak, mutasi
pada gen ini berhubungan dengan pembentukan plak b amiloid di otak. Seseorang dengan mutasi
pada gen ApoE4 dan CYP46 memiliki resiko dua kali lebih banyak dari seseorang
yang hanya memiliki mutasi pada gen ApoE4 saja.
Mutasi pada gen tau pada
kromosom 17 juga dikaitkan dengan abnormalitas pada protein tau dan
perkembangan demensia frontotemporal yang jarang.
- Down
Syndrome
Jumlah PPA berlebih pada
penderita sindroma Down. Hal ini terjadi karena
PPA diproduksi berlebih atau terjadi kesalahan transkripsi satu subunit
abnormal, misalnya terbentuk beta amiloid.
4. Estrogen
Banyak penelitian menunjukkan
penderita Alzheimer lebih sedikit terjadi pada wanita post menopause yang
mendapat terapi ERT. Namun ada juga penelitian yang menunjukkan bahwa
penggunaan hormon estrogen pada wanita menopause akan menggandakan resiko
terkena Alzheimer dan dementia vaskular setelah periode waktu 5 tahun. Oleh karena
itu, peranan estrogen dalam etiologi dan pencegahan Alzheimer masih
dielusidasi.
- Gaya
hidup dan sosiokultural
Konsumsi alkohol, diet kaya
lemak dan kolesterol, trauma kepala yang parah atau berulang, dan tingkat
pendidikan yang rendah merupakan faktor resiko Alzheimer. Aktivitas fisik dapat
menurunkan resiko Alzheimer.
6. Faktor resiko lain
Meliputi stroke, penyakit
kardiovaskular, hipotensi, hipertensi. Kondisi ini mempengaruhi aliran darah ke
otak. Depresi dan stres juga faktor resiko Alzheimer.
D. DIAGNOSIS KLINIK
Diagnosis
penyakit Alzheimer hanya mungkin dilakukan dengan autopsi otak setelah
penderita meninggal dunia. Tetapi, telah banyak peneliti yang mengembangkan
cara yang lebih akurat menggunakan tes diagnostik dan teknik lain, dari mulai
tes psikologi sampai dengan teknik imaging.
1. Mini Mental Status Examination
MMSE dapat
mengukur orientasi nyata seseorang, kemampuan registrasi, perhatian dan
kemampuan berhitung, mengingat, bahasa, dan kemampuan visuokonstruksi (melihat
dan membuat kopi design). Nilai tertinggi adalah 30. seseorang dengan nilai
kurang dari 24 memerlukan evaluasi lebih jauh untuk kemungkinan terkena
Alzheimer atau dementia yang lain, depresi, delirium atau schizoprenia.
Seseorang dengan nilai kurang dari 20 secara umum memiliki salah satu dari
gangguan tersebut.
2. Temuan Laboratorium
Tes laboratorium
yang dilakukan diantaranya adalah perhitungan total darah (Complete Blood
Count, CBC) untuk mengetahui adanya anemia. Tes glukosa darah perlu dilakukan
karena penyakit Alzheimer dapat mengganggu metabolisme glukosa. Tes fungsi
tiroid juga dilakukan untuk mengetahui adanya hipotiroidisme. Tusukan lumbar
perlu dilakukan untuk mengukur jumlah beta amiloid yang larut (sBPP) dalam
cairan serebrospinal, yang akan menurun nilainya pada keadaan Alzheimer. Nilai
sBPP normal adalah >450 U/L.
3. Studi ‘Imaging’
Studi MRI (Magnetic Resonance Imaging)
menunjukkan bahwa Alzheimer dapat menyebabkan beberapa perubahan pada struktur
otak, diantaranya adalah hippocampus yang akan menyusut pada tahap awal
Alzheimer. PET (positron Emission Tomography) dan SPECT (Single Proton Emission
Tomography) dapat memvisualisasi kegiatan otak selama operasi kognitif seperti
mengingat, memanggil, berbicara, membaca dan belajar. Teknik-teknik ini dapat
mengidentifikasi seseorang dengan resiko tinggi sebelum simptom timbul.
Walaupun sampai saat ini belum ada pencegahan atau pengobatan untuk Alzheimer,
tetapi skrining awal dan diagnosis dapat membantu keluarga untuk membuat
rencana perawatan yang terorganisir.
Untuk mengurangi
kesalahan dalam diagnosa, maka ditetapkan beberapa kriteria yang disebut dengan
kriteria NINCDS-ADRDA yaitu:
1. Sejarah penurunan kognitif progresif sejak
onset timbul. Lebih jauh lagi, wawancara dengan pasien dan perawatnya.
2. Penurunan fungsi dalam paling sedikit 2
atau lebih area kognitif.
3. Tidak ada gangguan kesadaran. Hal ini
dapat dikonfirmasi dengan menggunakan skala derajat demensia seperti Mini
Mental Status Exam (MMSE)
atau Blessed Dementia Scale.
4. Usia antara 40-90 tahun (biasanya di atas
65 tahun).
5. Tidak ada penyebab gejala lain yang dapat
dijelaskan. Syarat:
a. Test laboratorium harus normal meliputi
hematologi, kimia, B12 dan folat, tes fungsi tiroid, dan VDRL (untuk
memastikan penyakit sifilis)
b. Elektrokardiogram dan elektroensefalogram
normal
c. Latihan fisik normal termasuk latihan neurological
d. Gambar saraf: CT/MRI scan: abnormalitas
yang umum tetapi yang tidak termasuk diagnosa untuk Alzheimer seperti sampah
umum cerebral, pelebaran sulci, pelebaran ventrikel, dan lesi material putih di
sekeliling dasar ventrikel di otak.
Diagnosa
lain bisa dengan menggunakan skala seperti Global
Deterioritation Scale (GDS), tahap- tahapnya seperti berikut:
Tahap
|
Kondisi
|
Keterangan
|
1
|
Normal
|
Tidak ada perubahan subjektif atau objektif
dalam fungsi intelektual
|
2
|
Forgetfullness
|
Keluhan kelupaan sesuatu atau lupa nama kenalan,
tetapi tidak sampai mengganggu pekerjaan dan fungsi sosial. Secara umum
merupakan kondisi penuaan normal
|
3
|
Early confusion
|
Penurunan kognitif yang mempengaruhi pekerjaan
dan fungsi sosial. Anomia, kesulitan mengingat kata yang tepat dalam
percakapan, dan kesulitan mengingat yang sampai menarik perhatian keluarga.
Kehilangan memori dapat menyebabkan kecemasan pada pasien
|
4
|
Late confusion (early AD)
|
Pasien tidak dapat menangani keuangan dan pekerjaan
rumah sehari-hari. Kesulitan mengingat kejadian yang baru saja berlangsung.
Mulai mundur dari tugas yang sulit dan hobi. Pasien mungkin mengingkari
masalah memori ini.
|
5
|
Early dementia (moderate AD)
|
Pasien tidak dapat bertahan lama tanpa bantuan.
Sering disorientasi waktu (tanggal, tahun, musim). Kesulitan memilih baju.
Kerusakan parah dalam mengingat kejadian yang baru berlangsung, dapat
melupakan beberapa detail kehidupan masa lalu (seperti sekolah). Fungsi dapat
berfluktuasi dari hari ke hari. Pasien secara umum memungkiri masalah ini.
Dapat menjadi sangat curiga atau sedih. Kehilangan kemampuan untuk hidup
aman.
|
6
|
Middle dementia (moderately severe AD)
|
Pasien membutuhkan pertolongan untuk melakukan
aktivitas sehari-hari (mandi, berpakaian, ke toilet), kesulitan
menginterpretasikan sekelilingnya, lupa nama anggota keluarga dan
pengasuhnya, lupa hampir semua detail kehidupan masa lalunya, sulit
menghitung mundur dari angka 10, agitasi, paranoid, dan delusi (berkhayal)
|
7
|
Late dementia
|
Kehilangan kemampuan berbicara (hanya dapat
menjerit dan bersungut-sungut), jalan-jalan dan makan sendiri, buang air
kecil dan besar sembarangan, tidak sadar sampai koma.
|
Tujuh poin
tersebut sangat umum digunakan dan telah divalidasi dengan mengkorelasikan
dengan pengukuran psikometrik dan perubahan dalam CT/PET scan dan berguna untuk
memonitor perubahan menyeluruh pada pasien Alzheimer. Penentuan tipe gen pada
penderita tidak signifikan dalam memperbaiki akurasi diagnosa dibanding dengan
diagnosa klinik berdasarkan kriteria yang ada, sehingga tidak direkomendasikan
sebagai alat skrining.
Sejalan dengan perkembangan penyakit Alzheimer, gangguan kognisi tiba-tiba
dapat terjadi. Evaluasi diagnosa dengan delirium harus dipertimbangkan karena
gejalanya sama. Delirium adalah gangguan kesadaran yang disertai oleh perubahan
kognisi dan dapat timbul bersamaan dengan demensia sehingga dapat mengacaukan
gambaran klinik pasien. Gejala-gejala yang terjadi pada delirium sama dengan
demensia. Satu-satunya gambaran yang dapat menolong membedakan delirium dari
demensia Alzheimer adalah penurunan kesadaran akan lingkungan, kejadian yang
berfluktuasi, dan keberadaan onset yang perlahan. Delirium delirium berkembang
dalam waktu yang sangat singkat yaitu dari jam sampai hari, dan melibatkan perubahan
akut dalam tingkat kesadaran di samping penurunan kognisi. Delirium biasanya
tidak permanen, tetapi gejala biasanya bisa bertahan sampai beberapa hari
bahkan minggu. Faktor penyebabnya antara lain gangguan metabolik
(ketidakseimbangan elektrolit dan fluktuasi glukosa), infeksi, dan alkohol.
E. TINGKATAN
PENYAKIT ALZHEIMER
Penyakit Alzheimer dapat dibagi menjadi
tiga tingkatan perkembangan, yaitu sebagai berikut :
1.
Tahap Awal
Penderita
pada tahap ini masih bisa mengambil keputusan tentang penanganan yang harus
dilakukan di masa depan. Gejala yang terjadi meliputi :
§ Lupa Bicara
§ Kesulitan berbicara
§ Sulit belajar sesuatu yang baru
§ Sulit mengikuti suatu percakapan
|
§ Sulit berkonsentrasi
§ Pasif dan pendiam/pemalu
§ Depresi, gelisah
§ Perubahan ‘mood’
§ Mudah tersesat
§ Problem koordinasi gerak
|
2. Tahap Menengah
Terjadi
penurunan kemampuan fisik dan mental lebih lanjut. Gejala meliputi :
§ Semakin sering lupa (tidak mengenali
saudara dan teman)
§ Bingung, gelisah
§ Tidak sadar ruang dan waktu
§ Suka bepergian tanpa tujuan dan tersesat
§ Mengulang-ngulang perkataan dan tindakan
§ Cemas, depresi, bingung
|
§ Perubahan kepribadian, pasif,
marah-marah, cepat menjadi curiga
§ ‘Mood’ berubah-ubah
§ Sulit berkonsentrasi
§ Suka mengkhayal
§ Menyerang
§ Tidur terpenggal-penggal
§ Kesulitan bahasa
§ Masalah dalam penglihatan
|
|||
|
|
|
|
|
|
||||
3. Tahap akhir
Pada tahap
ini dibutuhkan pengawasan selama 24 jam atau sehari penuh. Gejala meliputi :
§ Tidak mampu mengingat, berkomunikasi dan
menjaga diri
§ Tinggal di tempat tidur
§ Susah makan/menelan
§ Kehilangan kontrol fungsi tubuh
§ Tidak bisa mengontrol buang air
|
§ Tidak bisa menerima informasi
§ Tidak sadar ruang dan waktu
§ Pendiam/pemalu
§ Berkomunikasi secara nonverbal (kontak mata, menangis dan
mngeluh)
§ Lebih banyak tidur
§ Kehilangan berat badan
|
Gejala yang terjadi pada penyakit
Alzheimer yaitu bingung, gangguan memori
jangka pendek, masalah dengan perhatian dan orientasi tempat, perubahan
kepribadian, sulit berbahasa, mood yang berubah-ubah, kesulitan melakukan aktivitas
yang telah menjadi kebiasaan, kemampuan menerka melemah, memiliki masalah
dengan pemikiran yang abstrak, dan hilangnya inisiatif. Untuk tujuan terapi dan
penilaian, sangat menolong untuk membagi gejala penyakit alzheimer dalam 2
kategori dasar, yaitu gejala kognitif dan non kognitif.F. GEJALA
Gejala Kognitif
|
Gejala Psikiatrik Non Kognitif dan Gangguan
Tingkah Laku
|
|
|
G. PATOFISIOLOGI
- Perubahan
struktural
Secara
neuropatologi, Alzheimer merusak neuron dalam struktur kortex dan limbic di
otak, khususnya pada basal otak depan, amigdala, hippocampus, dan korteks
serebral yang bertanggung jawab dalam kontrol memori, proses belajar
(learning), kewarasan (reasoning), tingkah laku (behaviour), dan emosional.
Secara anatomi, terlihat 4 gangguan utama yaitu atropi kortikal, degenerasi
kolinergik dan neuron lain, munculnya kekacauan neurofibrilasi (NFTs), dan
akumulasi plak neuritis. NFTs dan plak neuritis dianggap sebagai lesi penanda
Alzheimer, tanpa keduanya Alzheimer tidak terjadi. Tapi kedua hal tersebut juga
dapat terjadi pada penyakit lain dan bahkan pada proses penuaan yang normal.
NFTs adalah
pasangan filament heliks yang berkumpul dalam bungkusan padat. Secara mikroskop
terlihat sebagai kilauan kecil yang mengisi badan sel saraf. Pasangan filament
heliks dibentuk dari protein tau yang merupakan struktur penyokong
mikrotubulus, transport sel, dan sistem skelet. Jika posforilasi filament tau
abnormal pada sisi spesifiknya, mereka tidak dapat berikatan secara efektif
dengan mikrotubulus, menyebabkan kollaps mikrotubul, sehingga sel tidak dapat berfungsi
dan akhirnya mati. Over aktivitas kinase seperti microtubule
affinity-regulating kinase (MARK) atau penurunan aktivitas fosfat secara
teoritis mengakibatkan (mencegah pemecahan) fosforilasi abnormal protein tau.
NFTs juga ditemukan pada penyakit dementia lain dan merupakan pemicu umum
kematian sel.
|
|
Plak
neuritis (amiloid/plak senile) adalah lesi ekstrasel yang ditemukan di otak dan
vascular serebral (amiloid angiopati). Plak ini berisi βAP dan sebuah massa
anyaman dari neuritis yang pecah (akson dan dendrit). Beberapa neurit yang
pecah ini berisi filament neutrofil yang mengakibatkan fosforilasi abnormal
protein tau yang disintesis di NFTs. 2 jenis sel glial, astrosit dan mikroglia
juga ditemukan pada plak. Sel glial mensekresi mediator inflamasi dan bertindak
sebagai sel scavenger yang penting dalam proses inflamasi pada Alzheimer. Inti
dari plak neuritis terbentuk dari agregasi 39-43 asam amino dari protein yang
disebut βAP. Amiloidosis adalah penyakit
yang ditandai dengan deposisi protein amiloid dalam beberapa organ target . βAP
yang terakumulasi di otak dan pembuluh darah otak pada Alzheimer berbeda dengan
penyakit lain yang juga meangakumulasi protein amiloid. Protein βAP terpisah
dari protein APA (protein transmembran) oleh protease melalui berbagai cara.
Pada jalur sekretori normal, APA dipisah melalui daerah βAP, pertama dengan
menggunakan enzim α sekkretase, kemudian dengan enzim φ sekretase, menghasilkan
produk yang terlarut dan tidak merugikan
(P3). Dalam jalur patologik, jalur endosomal memecah di kedua sisi βAP, pertama
dengan β-sekretase dan kemudian
dengan φ-sekretase membentuk βAP (Cpp-bAPP) yang dilepaskan ke ruang ekstra
sel. Kebanyakan βAP terdiri dari 40 asam amino tetapi penelitian baru-baru ini
menemukan βAP yang terdiri dari 42 asam amino. Asam amino ini merusak saraf
pusat, meskipun mekanisme belum jelas. Selain itu juga menyebabkan disregulasi
kalsium dan kerusakan mitokondria yang bisa saja menstimulasi mediator
inflamasi. Hal ini membuktikan bahwa deposisi βAP terjadi pada tahap awal
proses penyakit, bukan merupakan produk akhir dari kematian neuronal dan
sepertinya menginisiasi pembentukan plak dan perusakan sel saraf.
|
|
|
|
- Mediator
inflamasi
Mediator
inflamasi dan komponen sistem imun lain ditemukan pada area di sekitar
pembentukan plak. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa sistem imun memegang peranan
penting dalam patogenesis Alzheimer. Meski mungkin bukan yang menginisiasi
penyakit, respon imun yang timbul untuk melawan kerusakan otak akan
memfasilitasi destruksi neuron. Kejadian yang mendorong keterlibatan sistem
imun adalah keberadaan protein fase akut seperti α1-antikromotripsin (ACT) dan
α2-makroglobulin di dalam serum dan plak amiloid pada Alzheimer. Sel glial
(astrosit dan mikroglial), sitokin (interleukin 1 dan 6), dan komponen
komplemen dari jalur klasik juga meningkat dalam daerah yang ada plaknya.
Mediator inflamasi ini meningkatkan toksisitas dan agregasi βAP. Produk kronik
agen sitotoksik dan radikal bebas yang diaktivasi oleh mikroglia juga dapat
mempercepat degenerasi neuron.
- Sistem
kolinergik
Berbagai
jalur neuronal dirusak pada Alzheimer. Kerusakan terjadi di beberapa sel saraf
yang terletak di dalam/ dilewati oleh plak. Kerusakan sel menyebabkan penurunan
berbagai neurotransmitter. Mayoritas kerusakan paling parah terjadi di jalur
kolinergik, khususnya di sistem neuron yang terletak di dasar otak depan pada
basal nucleus Mynert, yakni bagian otak yang dipercaya terlibat dalam integrasi
berpikir. Akson neuron kolinergik ini terarah ke korteks depan dan hippocampus,
yaitu area yang berhubungan erat dengan memori dan kognisi.
Fakta
adanya kehilangan saraf kolinergik besar-besaran ini, menimbulkan hipotesis
kolinergik yang menyatakan bahwa kehilangan sel kolinergik adalah sumber
kerusakan memori dan kognisi pada Alzheimer, sehingga diduga bahwa peningkatan
fungsi kolinergik akan memperbaiki simptom kehilangan memori.
- Abnormalitas
neurotransmitter lain
Sistem
neuron serotonergik dari nucleus Raphe dan sel noradrenergik dari locus
ceruleus juga hilang pada Alzheimer. Sementara itu aktivitas monoamine oksidase
B juga meningkat. MAO B ditemukan sebagian besar di otak dan platelet, dan
bertanggung jawab untuk metabolisme dopamine. Abnormalitas lain muncul pada
jalur glutamate dalam struktur korteks dan limbic. Glutamate adalah
neurotransmitter eksitatorik utama pada korteks dan hippocampus. Banyak jalur
neuronal yang penting untuk proses belajar dan memori menggunakan glutamate
sebagai meurotransmiter, meliputi neuron pyramidal (lapisan neuron dengan akson
panjang yang membawa informasi keluar dari korteks), hippocampus, dan korteks
entorhinal. Glutamate dan neurotransmitter asam amino eksitatori lain
diimplikasikan sebagai neurotoksin potensial pada Alzheimer. Jika glutamate
dibiarkan dalam sinaps pada waktu yang lama,
dapat menjadi racun dan merusak sel saraf. Efek toksin ini diduga
dimediasi melalui peningkatan kalsium intrasel dan akumulasi radikal bebas.
Kehadiran βAP akan membuat sel lebih rentan pada glutamate. Disregulasi
glutamate diduga sebagai satu dari mediator primer kerusakan neuronal setelah
stroke/cedera otak akut. Meskipun terlibat dalam kerusakan sel, peranan asam
amino eksitatori dalam Alzheimer belum jelas.
G. MANIFESTASI KLINIK
Bagian yang Dipengaruhi
|
Peran/Fungsi
|
Perubahan
|
Sistem Limbik
|
Daya ingat, emosi kontrol kebutuhan dasar
|
§ Kesulitan menemukan objek dan tempat
berada
§ Mudah tersinggung, depresi
§ Curiga barangnya hilang
|
Hipocampus
|
Tempat proses ingatan verbal dan visual
|
§ Lupa jangka pendek
§ Lupa ingatan masa lalu
§ Hidup hanya pada saat itu saja
§ Kehilangan kosakata
§ Tidak bisa membedakan wajah seseorang
benda atau tempat
|
Lobus Temporal
|
Kontrol pelajaran baru dan memori jangka
pendek
|
|
Lobus Parietal
|
“Sequence activities” Pemahaman informasi
ruang
|
§ Penggunaan kata tidak tepat
§ Sulit mengerti perkataan orang lain
§ Bicara terus menerus
§ Tidak mampu mengekspresikan ide dalam
tulisan yang jelas
§ Mudah tersesat
§ Sulit memakai pakaian
§ Sulit berjalan dengan seimbang
|
Lobus Frontal
|
Inisiasi aktivitas dan perencanaan
Mengatur kebiasaan sosial
|
§ Tidak
punya kepedulian/ketertarikan
§ Menghentikan hobi
§ Cepat bosan
§ Kemunduran dalam bersosialisasi
§ Mengulang-ngulang aktivitas
|
Lobus Occipital
|
Kontrol penglihatan, mengkombinasikan
warna, bentuk, sudut, dan gerakan
|
§ Kesulitan persepsi pandangan, tidak mampu
melihat gerakan
|
H. TERAPI ALZHEIMER
Terapi Alzheimer tidak ada
yang bersifat kuratif tetapi memiliki sasaran terapi sebagai berikut :
a. memelihara fungsi pasien selama mungkin
b. menangani gangguan psikiatrik dan tingkah
laku yang terjadi sebagai akibat penyakit.
Prinsip Farmakoterapi
1. Evaluasi pasien harus cermat untuk menguji
penyebab demensia dan memperhatikan kelainan lain yang terjadi sebelum
mempertimbangkan terapi obat
2. Etiologi Alzheimer, farmakoterapi baik
obat maupun permasalahan patofisiologi, belum begitu jelas diketahui
3. Terapi nonobat dan dukungan sosial untuk
pasien dan keluarga adalah pengobatan primer untuk Alzheimer.
4. Edukasi pengurus dan keluarga mengenai
penyakit dan keterbatasan pengobatan perlu dilakukan. Penyerahan yang tepat
kepada keluarga dan dukungan legal harus diciptakan.
5. Farmakoterapi berorientasi terhadap
mengatasi gejala dan mencegah penurunan keburukan fungsi kognisi.
6. Penilaian awal yang cermat, menggunakan
skala rating, harus dilakukan sebelum inisiasi terapi obat untuk gejala
sehari-hari dan kognisi.
7.
Titrasi dosis perlahan dengan monitoring dengan hati-hati
dapat meminimalisasi efek samping obat.
8.
Penilaian kebiasaan dengan cermat dan perencanaan
dengan hati-hati dari faktor lingkungan harus dilakukan sebelum inisiasi terapi
obat untuk gejala kebiasaan sehari-hari.
Farmakoterapi
untuk gejala sehari-hari harus dibatasi pada masing-masing pasien, dan dosis
pengobatan menurun dan berhenti pada pasien dengan gejala yang stabil.
Terapi Non Farmakologi
Terapi nonfarmakologi merupakan kunci
utama dalam menangani Alzheimer, diantaranya:
§ Buatlah permintaan dan perintah pada
pasien Alzheimer sesederhana mungkin, dan hindari tugas yang rumit yang dapat
menyebabkan frustasi
§ Hindari konfrontasi dan penolakan yang
bias menyebabkan frustasi
§ Tetap tenang, dan selalu mendukung jika
pasien menjadi sangat membingungkan
§ Jagalah kondisi lingkungan tempat tinggal
tetap konsisten dan hindari perubahan yang tidak perlu
§ Sediakan alat bantu untuk mengingatkan,
menjeklaskan, dan menunjuk arah pada pasien Alzheimer
§ Sadarilah penurunan kapasitas dan
tingkatkan harapan untuk performans pasien yang lebih baik
§ Jika terjadi penurunan fungsi yang
tiba-tiba dan gejala yang darurat, segera bawa ke tenaga profesional
Terapi
Farmakologi
A
Farmakoterapi terhadap gejala kognitif
1. Inhibitor kolinesterase
Inhibitor kolinesterase sekarang
ini adalah golongan obat yang diindikasikan untuk menangani penyakit Alzheimer
dan panduan penanganan merekomendasikan golongan ini sebagai first line agents untuk penyakit
Alzheimer ringan sampai sedang.
Jika turunnya skor MMSE lebih dari 2 sampai
4 poin sesudah penangan selama satu tahun, terapi dilanjutkan dengan mengubah
ke inhibitor kolinesterase yang lain. Jika tidak, penanganan sebaiknya
dilanjutkan dengan obat awal selama jalannya penyakit.
a. Donepezil
Mekanisme kerja: menginaktivasi kolinesterase sehingga
dapat menghambat proses hidrolisis asetilkolin. Hasilnya, meningkatnya
konsentrasi asetilkolin di otak.
Efek samping: yang umum disebabkan oleh aktifitas
kolinergik, yaitu mual, muntah, diare, nyeri lambung, didpepsia, nyeri kepala,
hilang nafsu makan, pusing. Obat-obat
kolinomimetik dapat menyebabakan obstruksi saluran air seni, serangan kejang.
Efek samping dapat dikurangi dengan penggunaan bersama dengan makanan. Pada
awal pemakaian, dapat meningkatkan agitasi pada pasien tertentu, tetapi akan
hilang setelah beberapa minggu.
Obat ini dilaporkan
mengakibatkan lebih sedikit efek samping perifer (mual, muntah, diare) daripada
inhibitor kolinesterase nonspesifik seperti tacrine.
Dosis: Dosis awal 5 mg sekali tiap hari di pagi
hari, dengan peningkatan sampai 10 mg sekali tiap hari sesudah empat sampai
enam minggu jika ditolerir. Donepezil ditolerir dengan baik oleh kebanyakan
pasien.
Perhatian: Kondisi
tukak peptik, sick sinus syndrome, perdarahan gastro intestinal, kehamilan dan
menyusui, aritmia jantung berat.
Interaksi obat: simetidin, teofilin, warfarin
dan digoxin (belum pasti)
b. Rivastigmine
mekanisme
kerja: sama dengan donepezile, memiliki aktivitas rendah pada
situs-situsnya di perifer sehingga efek samping perifer sedikit.
Dosis: Dosis awal adalah 1,5 mg
dua kali sehari, meningkat dalam selang waktu 2 minggu sampai dosis maksimum 6
mg dua kali sehari.
Efek samping: mual,
muntah, diare, sakit kepala, pusing, dan luka abdomen, fatigue, cemas, dan
agitasi.Toleransi dan absorpsi meningkat ketika obat ini diberikan bersama
dengan makanan. secara umum ditolerir dengan baik.
Interaksi Obat: Obat-obat
kolinomimetik, antikolinesterase, aminoglikosida, dan prokainamid
Perhatian: Aritmia jantung berat, penyakit pernafasan,
obstruksi saluran air seni, serangan kejang, kehamilan dan menyusui, sick sinus
syndrome, kondisi tukak gastro duodenal.
c. Galantamine
Galantamine
adalah inhibitor kolinesterase yang juga memiliki aktivitas seperti agonis
reseptor nikotinik. Sebuah studi melaporkan bahwa peningkatan atau stabilisasi
dapat diharapkan sekitar sembilan bulan lebih lama dibandingkan pasien yang
tidak ditangani.
Dosis: Dosis awal 4 mg dua kali sehari dengan
makanan, peningkatan secara gradual pada interval 4 minggu sampai maksimum 16 mg
dua kali sehari.
Efek
samping: meliputi mual,
muntah, diare, sakit kepala, pusing. Tidak mengakibatkan gangguan tidur seperti
yang terjadi dengan inhibitor kolin esterase yang lain. Efek samping dapat
dikurangi dengan penggunaan bersama dengan makanan.
Kontra
indikasi: pasien
gangguan hati dan ginjal
d. Tacrine
Merupakan agen
antikolinesterase yang reversibel dan aktif secara sentral, bekerja secara
longterm (panjang). Tacrine bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi
asetilkolin pada sistem saraf pusat.
Mekanisme kerja: belum sepenuhnya dapat dijelaskan.
Tacrine juga dapat memblok saluran Na (channal Na) pada akson di sistem saraf
pusat, kemudian menstimulasi pelepasan asetilkolin.
Tacrine juga mempunyai efek
langsung pada reseptor nikotinik dan muskarinik yang dapat meningkatkan
aktivitas kolinergik pada sinap di korteks.
Dosis
dan pemberian
Tacrine diberikan secara oral.
Untuk mengoptimalkan absorbsinya pada saluran pencernaan, Tacrine sebaiknya
diberikan diantara makan atau paling sedikit 1 jam sebelum makan. Pemberian
bersama makanan dapat menurunkan bioavailabilitasnya secara oral sekitar
30-40%.
Dosis Tacrine sebaiknya disesuaikan dengan
respon dan toleransi masing-masing individu.
Dosis awal untuk dewasa 10 mg 4 kali
sehari, dapat diberikan ekurang-kurangnya 4 minggu dengan monitoring
konsentrasi serum aminotransferase setiap minggu berikutnya dimulai setelah 4
minggu Tacrine diberikan. Dosis pemeliharaan dapat diberikan 4 minggu kemudian,
dapat ditingkatkan sampai 20 mg 4 kali sehari jika tidak ada penurunan atau
kelainan fungsi hati. Pemberian Tacrine tergantung pada kondisi dan toleransi
individu, dapat diberikan sampai 40-160 mg dalam sehari.
Peringatan
dan perhatian
Tacrine dapat menmpengaruhi
sistem enzim sitokrom P450 (mikrosomal) hati. Pemantauan secara
hati-hati dilakukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati, khususnya jika
terjadi perubahan konsentrasi aminotrasferase dalam serum dengan pemberian
Tacrin atau peningkatan dosisnya.
Konsentrasi serum
aminotrasferase (khususnya ALT[SGTP]) harus dimonitor setiap minggu,
sekurang-kurangnya minggu ke-4 sampai ke-16 dan selanjutnya setiap 3 bulan.
Tacrine dapat menginduksi
peningkatan amimotransferase. Kerusakan ginjal tidak mempengaaruhi bersihan
(clearance) Tacrine dan metabolitnya, tetapi harus diperhatikan penggunaannya
karena dimungkinkan bisa terjadi gangguan cairan dan elektrolit yang dapat
menyebabkan efek pada saluran pencernaan (muntah, diare, dll.).
Interaksi obat: teofilin dan
prokainamid.
2. Vitamin E
Vitamin E adalah antioksidan yang telah
dipelajari pada penderita Alzheimer berdasarkan teori patofisiologi yang
melibatkan radikal bebas. Pada sebuah studi, vitamin E 1000 IU dua kali sehari
menunjukkan sekurang-kurangnya sama efektifnya seperti Selegiline. Berdasarkan
penemuan ini dan efek sampingnya yang rendah serta harga yang murah, vitamin E
dapat digunakan sebagai tambahan bersama inhibitor kolinesterase selama
penanganan.
Vitamin E biasanya digunakan secara oral tetapi
jika ada gangguan para saluran pencernaan atau terjadi malabsorbsi, vitamin E
dapat diberikan secara parenteral sebagai komponen injeksi multivitamin
Efek vitamin E pada pasien atau kombinasinya
dengan agen lain secara pasti belum diketahui, dan beberapa ahli mengatakan
bahwa manfaat klinik pada penderita Alzheimer secara pasti belum meyakinkan.
Studi lebih lanjut terhadap vitamin E diperlukan untuk mendefinisikan lebih
jelas dan tepat pada pengobatan Alzheimer. Fungsi vitamin E secara biologi pada
manusia belum diketahui, meskipun demikian vitamin E dipercaya sebagai
antioksidan yang dapat memperlambat onset dan perubahan pada neuron sistem
saraf pusat.
3. Selegiline
Pada salah satu studi, penggunaan 10 mg Selegiline
tiap hari memberikan sedikit penurunan skor Brief
Psychiatric Rating Scale. Pasien yang mengalami dementia lebih parah
terutama yang memiliki gejala tingkah laku, mungkin lebih menguntungkan jika
menggunakan obat ini dibandingkan penderita yang lebih ringan. Selegiline
merupakan inhibitor secara relatif dan stereoselektif MAO-B yang biasa
digunakan untuk sindrom Parkinson. Penggunaannya untuk sindrom Parkinson dan penyakit
Alzheimer. Selegiline digunakan untuk meringankan dementia ringan sampai berat
pada Alzheimer. Selegiline digunakan secara oral, biasanya dibagi dalam 2 kali
dosis perhari. Studi menunjukkan bahwa Selegiline atau vitamin E lebih efektif
dibandingkan kombinasinya dalam pengobatan Alzheimer. Studi lebih lanjut
terhadap Selegiline diperlukan untuk mendefinisikan lebih jelas dan tepat pada
pengobatan Alzheimer.
4. Estrogen
Estrogen diduga terlibat dalam menstimulasi
pertumbuhan neuronal dan mencegah kerusakan oksidatif yang akan menguntungkan
sel yang terekspos βAP. Dalam hippocampus, korteks serebral, dan basal otak
depan, reseptor estrogen terlokalisasi bersama dengan reseptor faktor pertumbuhan
saraf pada ujung saraf kolinergik. Kehadiran reseptor estrogen meningkatkan
jumlah reseptor faktor pertumbuhan saraf. Kemampuan estrogen berinteraksi
dengan faktor pertumbuhan saraf dapat menjelaskan kemampuan estrogen dalam
menstimulasi pertumbuhan sinaptik, stimulasi akson dan dendrit untuk membentuk
cabang baru. Suplemen estrogen juga mencegah penurunan up take kolin dan
konsentrasi kolin asetil transferase pada tikus setelah ovariektomi. Hal ini
membuktikan bahwa estrogen penting untuk memelihara neurotransmitter kolinergik
normal. Estrogen juga meningkatkan jumlah reseptor N-metil-D-Aspartat (NMDA)
dalam daerah otak yang terlibat dalam perekaman memori baru, juga mencegah
kerusakan sel, karena bertindak sebagai anti oksidan. Progesterone juga efektif
dalam pencegahan kerusakan sel, tapi kurang efektif dibanding estrogen.
Estrogen dapat mencegah pembentukan plak neuritis dengan memfasilitasi
degradasi APP lebih cenderung oleh α sekretase daripada β sekretase, sehingga
menghasilkan produk terlarut yang tidak merugikan. Meskipun demikian, ada data
yang justru sangat berlawanan dengan hal di atas, dimana resiko Alzheimer pada
wanita yang sedang mendapat terapi estrogen (ERT) justru meningkat. Namun
beberapa studi epidemiologic juga menunjukkan penurunan resiko Alzheimer pada
wanita yang mengkonsumsi estrogen, meski studi yang lebih terkontrol belum ada.
Oleh karena itu, peranan estrogen dalam etiologi dan pencegahan Alzheimer masih
dielusidasi.
5. Anti inflamasi
Sebuah penelitian penyebab
Alzheimer menunjukkan lebih sedikit terjadinya Alzheimer jika seseorang
menerima AINS secara teratur. Selama 15 tahun teramati bahwa penggunaan AINS
diasosiasikan dengan sedikitnya kejadian Alzheimer. Pasien dengan penggunaan
AINS selama lebih dari 2 tahun memiliki nilai risiko terkena Alzheimer 0,4
dibandingkan orang yang mengkonsumsi AINS kurang dari 2 tahun (nilai risiko
0,65). AINS memiliki efek samping seperti gastritis dan kemungkinan pendarahan GI.
Karena ketiadaan “multicenter”, percobaan pengawasan untuk mendukung potensial
efikasi dan efek samping, AINS tidak direkomendasikan untuk penggunaan umum
pada pengobatan maupun pencegahan Alzheimer saat ini. Percobaan klinis dengan
inhibitor COX-2 pada Alzheimer sedang dilakukan saat ini.
6.
Ginko biloba
Egb 761, ekstrak
dari ginkgo biloba, diklaim dapat meningkatkan memori. Meskipun ia dianggap
antioksidan dan mempengaruhi inflamasi dan neuromodulasi, mekanisme
senyawa-senyawa dalam Egb 761 belum terelusidasi.
B.
Farmakoterapi
terhadap gejala nonkognitif
Penggunaan farmakoterapeutik ini bertujuan untuk
menangani gejala psikotik, tingkah laku yang tidak sesuai, dan depresi. Panduan
umum pangobatan yaitu kurangi dosis, pemantauan yang ketat, menaikkan dosis dengan
perlahan-lahan, pengobatan psikotropik dengan efek antikolinegik sebaiknya
dihindari karena dapat memperburuk kognisi. Efek samping lainnya yaitu sedasi,
sikap tubuh yang tidak stabil.
a. Antipsikotik
Antipsikotik
telah digunakan untuk menangani tingkah laku yang mengganggu dan psikosis pada
penderita penyakit Alzheimer. Symptoms
responding termasuk penyerangan, agitasi dan hipereksitabilitas,
halusinasi, delusi, curiga, permusuhan, dan sikap yang tidak bekerja sama. Symptoms not responding meliputi
penyendiri, apatis, cognitive deficit,
keluyuran.
Dosis
Risperidone telah dipelajari pada percobaan klinis dan digunakan dalam
penanganan gejala psikotik atau gangguan tingkah laku yang berhubungan dengan
dementia. Dosis awal yang direkomendasikan adalah 0,25 mg tiap hari, meningkat
0,25 – 5 mg meningkat sampai 1 mg tiap hari. Jika respon belum cukup,
peningkatan lebih jauh sampai 2 mg dapat dicoba jika ditolerir.
Olanzapine menunjukkan
bermanfaat dalam percobaan terkontrol. Bagaimana pun juga, obat ini memiliki
efek kolinergik, meningkatkan perhatian tentang penggunaannya untuk pengobatan
penyakit Alzheimer.
Quetiapine has been evaluated only in open label
studies. Obat ini dapat menjadi alternatif untuk pasien yang tidak dapat
merespon atau tidak dapat mentolerir risperidone atau olanzapine.
b. Antidepresan
Depresi
dan dementia memiliki banyak gejala pada umumnya, dan diagnosa depresi dapat
menjadi sulit, terutama pada penderita penyakit Alzheimer. Gejala depresi
sebaiknya didokumentasikan beberapa minggu sebelum memulai terapi antidepresan.
Jika penanganan nonspesifik gagal, usaha dengan antidepresan dapat diperlukan.
Farmakoterapi sebaiknya dimulai dengan agen yang memiliki efek samping ringan.
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti citalopram, fluoxetine,
paroxetine, atau sertraline adalah antidepresan yang lebih disukai. Pengobatan
first line lainnya yang dapat diterima meliputi serotonin/norepinefrin reuptake
inhibitor seperti venlafaxine atau turunan triazolopiridin nefazodone atau trazodone.
Trazodone adalah triazolopiridin yang menimbulkan efek sedatif lebih dan
dilaporkan menurunkan insomnia, agitasi, dan disforia. Bagaimanapun juga obat
ini cenderung untuk menyebabkan orthostasis dan sedasi berlebihan pada dosis
antidepresan.
c. Miscellaneous
Therapies
Citalopram (sebuah SSRI)
sekurang-kurangnya sama efektif seperti antipsikotik fluphenazine dan lebih
efektif daripada plasebo untuk psikosis dan gangguan tingkah laku pada
dementia.
Carbamazepine menunjukkan
kemajuan signifikan pada gejala psikiatrik melebihi placebo pada suatu
penelitian dan ditolerir dengan baik.
Oxazepam dan benzodiazepine
lainnya telah digunakan untuk mengani ansietas, agitasi dan agresi, tetapi
secara umum menunjukkan efek yang lebih rendah dibandingkan antipsikotik.
Buspirone telah menunjukkan
manfaat dalam menangani agitasi dan agresi dengan efek samping minimal.
Selegiline dapat menurunkan
ansietas, depresi, dan agitasi.
Bukti menunjukkan bahwa jika
antipsikotik gagal mengatasi tingkah laku nonkognitif, citalopram atau
carbamazepine dapat menjadi alternative second
line.
ALGORITMA PENANGANAN PENYAKIT ALZHEIMER
EVALUASI HASIL TERAPI
Evaluasi terhadap hasil terapi pada pasien Alzheimer dimulai dengan
penilaian awal dan definisi jelas tentang tujuan terapi. Status kognisi, status fisik, performans fungsi, “mood”, proses
berpikir, dan kebiasaan seluruhnya perlu dievaluasi sebelum inisiasi terapi
obat. Klinisian harus mewawancara
baik pasien maupun pengurus untuk menilai respon terapi obat. Karena pengurus
sering mengalami kesulitan dalam memberikan informasi yang jujur mengenai
kondisi seseorang yang mereka sayang dengan kehadirannya, maka sering juga
diperlukan wawancara dengan keluarga pengurus secara terpisah. Dalam
mengevaluasi respon terhadap agen kognisi, klinisian perlu menanyakan kemampuan
pasien dalam performa tugas dan fungsi sehari-hari dan “mood” dan kebiasaan,
seperti menanyakan memori dan orientasi pasien. Penilaian obyektif, seperti
nilai MMSE dan Functional Activities Questionare, harus juga dikuantifikasi
perubahan pada gejala dan fungsi sehari-hari pasien
Karena target dari kelainan
psikiatri dapat direspon berbeda pada pasien demensia, daftar mendetail gejala
yang diobati harus didokumentasi dalam rencana farmakoterapi yang ditambahkan
dalam pengawasan. Termasuk marah terhadap pasangan karena yakin pasangannya
adalah penipu, mengancam jika digantikan baju, dan lain-lain, juga
dokumentasikan gejala samar-samar seperti agresif dan delusinasi. Untuk membuat
penilaian akurat dari depresi, gejala yang banyak seperti tidur, nafsu makan,
dan aktivitas hingga tingkat ketertarikan juga perlu dinilai sebagai tambahan
menjaga “mood” pasien.
Pasien harus diobservasi
dengan hati-hati untuk menghindarkan efek samping terapi. Tergantung agen
terapeutik yang terus dikembangkan, pasien harus juga dinilai efek samping
seperti diare, stress GI, pusing, sedasi, efek ekstrapiramidal, atau kebiasaan
yang memburuk. Efek samping yang spesifik harus dimonitor dan metode dan waktu
monitoring perlu didokumentasi. Penilaian periodik efektivitas pengobatan, efek
samping, komplikasi, kebutuhan dosis, atau perubahan pengobatan harus dilakukan
paling sedikit sebulan sekali. Tetapi, pasien membutuhkan waktu yang cukup
untuk menerima satu jenis terapi untuk melihat efeknya tanpa intervensi yang
lain. Karena efek dari pengobatan agen
peningkat kognisi tidak besar, periode pengobatan selama beberapa bulan hingga
setahun dibutuhkan sebelum dinyatakan apakah pengobatan berefek atau tidak.
Efek kognisi obat sering dicatat stabil selama terapi atau memburuk ketika obat
tidak diteruskan. Secara umum, agen kognisi harus dilanjutkan jika pasien tidak
menunjukkan perubahan pada status klinis. Tetapi, jiga diragukan, pengobatan
dapat diberhentikan perlahan, dan pasien dimonitor selama 4-6 minggu untuk
melihat apakah terapi perlu dilanjutkan atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dipiro-Talbert. Yec., Matzlie. Wells. Posey,
Pharmacotherapy- A Pathopysiologic Aproach, Edisi 5, Vol. 2, Medical Publishing
Division, 1999, hal 1157-1170.
2. Sumber : http://www.alz.org/
3. Sumber : http://www.harrisononline.com/
4. Ensiklopedia Enkarta tahun 2006
Terimakasih :)
.
Komentar
Posting Komentar