FARMAKOKINETIKA & FARMAKODINAMIK PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI



FARMAKOKINETIKA & FARMAKODINAMIK PADA KEHAMILAN DAN MENYUSUI

1. Farmakokinetika dan Farmakodinamik pada Kehamilan
A.    Farmakokinetika
Selama kehamilan teijadi perubahan-perubahan fisiologi yang mempengaruhi farmakokinetika obat. Pembahan tersebut meliputi peningkatan cairan tubuh misalnya penambahan volume darah sampai 50% dan curah jantung sampai dengan 30%. Pada akhir semester pertama aliran darah ginjal meningkat 50% dan pada akhir kehamilan aliran darah ke rahim mencapai puncaknya hingga 600-700 ml/menit. Peningkatan cairan tubuh tersebut terdistribusi 60 % di plasenta, janin dan cairan amniotik, 40% di jaringan si ibu.
Perubahan volume cairan tubuh tersebut diatas menyebabkan penurunan kadar puncak obat-obat di serum, terutama obat-obat yang terdistribusi di air seperti aminoglikosida dan obat dengan volume distribusi yang rendah. Peningkatan cairan tubuh juga menyebabkan pengenceran albumin serum (hipoalbuminemia) yang menyebabkan penurunan ikatan obat-albumin. Steroid dan hormon yang dilepas plasenta serta obat-obat lam yang ikatan protein plasmanya tinggi akan menjadi lebih banyak dalam bentuk tidak terikat. Tetapi hal ini tidak bermakna secara klinik karena bertambahnya kadar obat dalam bentuk bebas juga akan menyebabkan bertambahnya kecepatan metabolisme obat tersebut.
Gerakan saluran cerna menurun pada kehamilan tetapi tidak menimbulkan efek yang bermakna pada absorpsi obat. Aliran darah ke hepar relatif tidak berubah. Walau demikian kenaikan kadar estrogen dan progesteron akan dapat secara kompetitif menginduksi metabolisme obat lain, misalnya fenitoin atau menginhibisi metabolisme obat lain misalnya teofilin.
Peningkatan aliran darah ke ginjal dapat mempengaruhi bersihan (clearance) ginjal obat yang eliminasi nya terutama lewat ginjal, contohnya penicilin.

Perpindahan obat lewat plasenta.
Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta.
Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh hal-hal dibawah ini.
§  Kelarutan dalam lemak
Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.
§  Derajat ionisasi
Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kliolin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal im disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dan sebagian kecil salisilat yang tidak terion.
Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar.
§  Ukuran molekul
Obat dengan berat molekul sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.
§  Ikatan protein.
Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi, misalnya beberapa anastesi gas. Obat-obat yang kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.
§  Metabolisme obat di plasenta dan di janin.
Dua mekanisme yang ikut melindungi janin dari obat disirkulasi ibu adalah :
1.      Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya, kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotumdin yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di plasenta.
2.      Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan dimetabolisme sebelum masuk ke sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.

Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat, lsotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tmggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tmggi kadarnya di sel embrio.

B.     Farmakodinamika
Mekanisme kerja obat ibu hamil.
Efek obat pada jaringan reproduksi, uterus dan kelenjar susu, pada kehamilan kadang dipengaruhi oleh honnon-homion sesuai dengan fase kehamilan. Efek obat pada jaringan tidak berubah bermakna karena kehamilan tidak berubah, walau terjadi perubahan misalnya curah jantung, aliran darah ke ginjal. Perubahan tersebut kadang menyebabkan wanita hamil membutuhkan obat yang tidak dibutuhkan pada saat tidak hamil. Contohnya glikosida jantung dan diuretik yang dibutuhkan pada kehamilan karena peningkatan beban jantung pada kehamilan. Atau insulin yang dibutuhkan untuk mengontrol glukosa darah pada diabetes yang diinduksi oleh kehamilan.

Mekanisme ketja obat pada janin.
Beberapa penelitian untuk mengetahui kerja obat di janin berkembang dengan pesat, yang berkaitan dengan pemberian obat pada wanita hamil yang ditujukan untuk pengobatan janin walaupun mekanismenya masih belum diketahui jelas. Contohnya kortikosteroid diberikan untuk merangsang matangnya paru janin bila ada prediksi kelahiran prematur. Contoh lain adalah fenobarbital yang dapat menginduksi enzim hati untuk metabolisme bilirubin sehingga insidens jaundice ( bayi kuning) akan berkurang. Selain itu fenobarbital juga dapat menurunkan risiko perdarahan intrakranial bayi kurang umur. Anti aritmia juga dibelikan pada ibu hamil untuk mengobati janinnya yang mendenta antmia jantung.

Kerja obat teratogenik.
Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat terpapar. Thalidomid adalah contoh obat yang besar pengaruhnya pada perkembangan anggota badan (tangan, kaki) segera sesudah terjadi pemaparan. Pemaparan ini akan berefek pada saat waktu kritis pertumbuhan anggota badan yaitu selama nunggu ke empat sampai minggu ke tujuh kehamilan. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik belum diketahui dan mungkin disebabkan oleh multi faktor.
§  Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung mempengaruhi jaringan janin.
§  Obat mungkin juga menganggu aliran oksigen atau nutnsi lewat plasenta sehingga mempengaruhi jaringan janin.
§  Obat juga dapat bekerja langsung pada proses perkembangan jaringan janin, misalnya vitamin A (retinol) yang memperlihatkan perubahan p3da jaringan normal. Dervat vitamin A (isotretmoin, etretinat) adalah teratogenik yang potensial.
§  Kekurangan substansi yang esensial diperlukan juga akan berperan pada abnormalitas. Misalnya pemberian asam folat selama kehamilan dapat menurunkan insiden kerusakan pada selubung saraf. yang menyebabkan timbulnya spina bifida.
Paparan berulang zat teratogenik dapat menimbulkan efek kumulatif. Misalnya konsumsi alkohol yang tinggi dan kronik pada kehamilan , terutama pada kehamilan tnmester pertama dan kedua akan menimbulkan fetal alcohol syndrome yang berpengaruh pada sistem saraf pusat, pertumbuhan dan perkembangan muka.

2. Farmakokinetika dan Farmakodinamik Pada Menyusui
A.    Farmakokinetika
Hampir semua obat yang diminum perempuan menyusui terdeteksi didalam ASI , untungnya konsentrasi obat di ASI umumnya rendah. Konsentrasi obat dalam darah ibu adalah faktor utama yang berperan pada proses transfer obat ke ASI selain dari faktor-faktor fisiko-kimia obat. Volume darah/cairan tubuh dan curah jantung yang meningkat pada kehamilan akan kembali normal setelah 1 bulan melahirkan. Karena itu pemberian obat secara kronik mungkin memerlukan penyesuaian dosis.
Obat yang larut dalam lemak, yang non-polar dan yang tidak terion akan mudah melewati membran sel alveoli dan kapiler susu. Obat yang ukurannya kecil (< 200 Dalton) akan mudah melewati pori membran epitel susu. Obat yang terikat dengan protein plasma tidak dapat melewati membran, hanya obat yang tidak terikat yang dapat melewatinya.
Plasma relatif sedikit lebih basa dari ASI. Karena itu obat yang bersifat basa lemah di plasma akan lebih banyak dalam bentuk tidak terionisasi dan mudah menembus membran alveoli dan kapiler susu. Sesampainya di ASI obat yang bersifat basa tersebut akan mudah terion sehingga tidak mudah untuk melewati membran kembali ke plasma. Fenomena tersebut dikenal sebagai ion trapping.
Rasio M:P adalah perbandingan antara konsentrasi obat di ASI dan di plasma ibu. Rasio M:P yang >1 menunjukkan bahwa obat banyak berpindah ke ASI, sebaliknya rasio M:P < 1 menunjukkan bahwa obat sedikit berpindah ke ASI.
Pada umumnya kadar puncak obat di ASI adalah sekitar 1- 3 jam sesudah ibu meminum obat. Hal ini mungkin dapat membantu mempertimbangkan untuk tidak memberikan ASI pada kadar puncak. Bila ibu menyusui tetap harus meminum obat yang potensial toksik terhadap bayinya maka untuk sementara ASI tidak diberikan tetapi tetap harus di pompa. ASI dapat diberikan kembali setelah dapat dikatakan tubuh bersih dari obat dan ini dapat diperhitungkan
setelah 5 kali waktu paruh obat.
Rasio benefit dan risiko penggunaan obat pada ibu menyusui dapat dinilai dengan mempertimbangkan :
1.      Farmakologi obat: reaksi yang tidak dikehendaki
2.      Adanya metabolit aktif
3.      Multi obat : adisi efek samping
4.      Dosis dan lamanya terapi
5.      Umur bayi.
6.      Pengalaman/bukti klinik
7.      Farmakoepidemiologi data.

Farmakokinetika bayi.
Absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi pada bayi berbeda nyata dengan orang dewasa. Kecepatan absorpsi lewat saluran cerna lebih rendah, misalnya absorpsi fenobarbital, fenitoin, asetaminofen dan Distribusi obat juga akan berbeda karena rendahnya protein plasma, volume cairan tubuh yang lebih besar dari orang dewasa. Metabolisme obat juga rendah karena
aktivitas enzim yang rendah . Ekskresi lewat renal pada awal kehidupan masih rendah dan akan meningkat dalam beberapa bulan.
Selain banyaknya obat yang diminum oleh bayi melalui ASI, juga kinetika obat pada bayi menentukan akibat yang ditimbulkan oleh obat. Yang perlu diperhatikan adalah bila efek yang tidak diinginkan tidak bergantung dari banyaknya obat yang diminum, misalnya reaksi alergi, maka sedikit atau banyaknya ASI yang diminum bayi menjadi tidak penting, tetapi apakah si bayi meminum atau tidak meminum ASI menjadi lebih penting.

B.     Farmakodinamik
Mekanisme kerja obat pada ibu menyusui dapat dikatakan tidak berbeda. Sedangkan farmakodinamik obat pada bayi masih sangat terbatas dipelajari. Kemungkinan sensitivitas reseptor pada bayi lebih rendah, sebagai contoh, dari hasil penelitian bahwa sensitivitas d-tubokurarin meningkat pada bayi.

DAFTAR PUSTAKA


Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil dan Menyusui. 2006.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hitung Darah Lengkap - Hemoglobin, MVh, MCHC, MCV

Therapy Drug Monitoring and Drug Therapy Monitoring

Prothrombin Time (PT) and Activated Partial Thromboplastin Time (APTT)