FARMAKOTERAPI “G E R D - Gastro-oesophageal reflux disease
A. Definisi GERD
Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di
lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering
dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal
tahun 2006 (the Montreal definition and classification of gastroesophageal
reflux disease : a global evidencebased consensus), penyakit refluks
gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung
ke dalam esofagus yang menimbulkan
berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun
ekstra-esofagus dan/atau komplikasi. Komplikasi yang berat yang dapat timbul
adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma dikardia dan esofagus.
Gerd dan sindroma dispepsia mempunyai
prevalensi yang sama tinggi, dan seringkali muncul dengan Simptom yang tumpang
tindih sehingga menyulitkan diagnosis.Dispepsia non ulkus, di masa lalu
diklasifikasikan menjadi 4 subgrup yaitu dispepsia tipe ulkus, dispepsia tipe
dismotilitas, dispepsia tipe refluks dan dispepsia non spesifik. Namun kemudian
ternyata dispepsia tipe refluks dapat berlanjut menjadi penyakit organik yang
berbahaya seperti karsinoma esofagus. Karena itulah para ahli sepakat
memisahkan dispepsia tipe refluks dari dispepsia dan menjadikan penyakit
tersendiri bernama penyakit refluks gastroesofageal.
B. Epidemiologi
GERD
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan
di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang
baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi
GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara
sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang
diwakili Turki menempati posisi puncak
di seluruh Asia dengan 20%. Di Divisi Gastroenterologi. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan kasus esofagitis
sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas dasar
dispepsia. Prevalensi
PRGE di Asia, termasuk Indonesia, relatif rendah dibanding negara maju. Di
Amerika, hampir 7% populasi mempunyai keluhan heartburn, dan 20%-40% diantaranya
diperkirakan menderita gerd. Tidak ada predileksi gender pada gerd laki-laki
dan perempuan mempunyai risiko yang sama, namun insidens esofagitis pada
laki-laki lebih tinggi, begitu pula Barrett's Esophagitis lebih banyak dijumpai
pada laki-laki Gerd dapat terjadi di segala usia, namun prevalensinya meningkat
pada usia diatas 40 tahun.
C. Etiologi
dan Pathogenesis
Terdapat
berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis dapat terjadi
sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam waktu yang
cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi penurunan
resistensi jaringan mukosa esofagus.
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme : 1).Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2).
Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3).
Meningkatnya tekanan intraabdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa
patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari
esofagus (pemisah anti refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan
epitel esofagus) dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam
timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya
refluks fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric
outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif
kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori
terhadap gerd merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya
terhadap sekresi asam lambung. Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia dengan
rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai
salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan
dengan negara-negara Barat.
D.
Diagnosis GERD
Adanya gejala klasik GERD
(heartburn dan regurgitasi), yang ditemukan melalui anamnesis yang cermat, merupakan
patokan diagnosis. Sekitar 50% pasien GERD simtomatik memperlihatkan hasil
pH-metri yang normal, sementara hanya 25% penderita esofagitis erosif dan 7%
penderita esophagus Barrett yang menunjukkan hasil pH-metri normal. Pemeriksaan
endoskopi pada esofagitis erosif menurut klasifikasi LA mempunyai korelasi
positif yang bermakna dengan pH-metri esofagus 24-jam dan gejala-gejala
klinisnya.
·
Tes PPI
Beberapa uji klinis prospektif
terkontrol meneliti
penggunaan empiris PPI untuk
GERD.
Tes PPI adalah pengobatan PPI selama
2
minggu pada pasien yang mempunyai
gejala
GERD atau pasien yang mempunyai
manifestasi
GERD atipikal/ekstraesofageal.
Dalam
tes ini, PPI diberikan dua
kali
sehari; sensitivitas tes PPI sebesar 68- 8,9 80% untuk diagnosis GERD. Dari
penelitian di
Asia, terungkap bahwa 93% penderita
yang
mempunyai gejala GERD tipikal
dan
endoskopinya normal ternyata responsif terhadap terapi PPI selama 2 minggu tersebut.
·
Gejala Peringatan
(Alarm Symptoms)
Endoskopi
saluran cerna atas pada pasien
dengan
gejala heartburn atau regurgitas
bukan
keharusan bagi pasien GERD,
mengingat
lebih dari 90% pasien GERD di
Asia
tidak menunjukkan kelainan pada
pemeriksaan
endoskopi (endoscopic-negative).
Selain
itu, karena mahalnya biaya
pemeriksaan
dan tidak semua daerah memiliki
fasilitas endoskopi saluran cerna
atas,
penggunaan endoskopi sebagai modalitas diagnostik masih terbatas di Indonesia. Setelah diagnosis
klinis ditegakkan, PPI
dosis standar dapat diberikan selama 1 atau 2 mingu (tes PPI) pada penderita dengan gejala yang
tipikal. Tes PPI bersifat
sensitif
dan spesifik untuk mendiagnosis
GERD
yang mempunyai gejala tipikal.
Strategi ini dapat
menghemat biaya secara nyata
dan mengurangi penggunaan tes
diagnostik
yang invasif. Jika responsnya
sesuai,
pasien harus melanjutkan pengobatan
sedikitnya
selama 4 minggu. Setelah
itu,
direkomendasikan untuk memberikan
terapi
on-demand mengingat sebagian
besar
pasien di Asia tidak menunjukkan
kelainan
pada pemeriksaan endoskopi.
Pasien
harus dirujuk untuk menjalankan
pemeriksaan
endoskopi saluran cerna jika
tidak
responsif terhadap PPI, mengalami
relaps
berulang, gejala atipikal, gejala berat, atau gejala peringatan (alarm symptoms). Gejala peringatan untuk
rujukan dini endoskopi saluran
cerna atas meliputi penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, riwayat
kanker lambung dan atau
esofagus dalam keluarga, penggunaan
obat
antiinflamasi nonsteroid,
disfagia
progresif, odinofagia, dan usia >40 tahun di daerah prevalensi
tinggi kanker lambung.
American
College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005
telah mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang
ada, merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007):
a)
Jika gejala pasien khas
untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris (termasuk modifikasi gaya
hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat pasien masuk dilakukan jika pasien
menunjukkan gejala-gejala komplikasi, atau berisiko untuk Barret’s esophagus,
atau pasien dan dokter merasa endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence
: IV)
b)
Endoskopi adalah teknik
pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi dugaan Barret’s esophagus dan
untuk mendiagnosis komplikasi GERD. Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi
adanya epitel Barret dan untuk mengevaluasi displasia. (Level of Evidence :
III)
c)
Pemantauan ambulatoar (ambulatory
monitoring) esofagus membantu untuk konfirmasi reluks gastroesofageal pada
pasien dengan gejala menetap (baik khas maupun tidak khas) tanpa adanya
kerusakan mukosa; juga dapat digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada
pasien tersebut di atas yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence :
III)
d)
Manometri esofagus
dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan probe ambulatory
monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya pembedahan anti refluks.
(Level of Evidence : III)
Sementara
itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association (AGA)
menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position
Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi
12 pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan
prioritas uji diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan
GERD sebagai berikut : (Hiltz dkk, 2008)
a)
Endoskopi dengan biopsi
dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala esofagus dari GERD dengan disfagia
yang mengganggu. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami metaplasia,
displasia, atau dalam hal tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang
normal (minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)
b)
Endoskopi dilakukan
untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala esofagus dari GERD yang tidak berespon
terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area
yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau malignansi.
c)
Manometri dilakukan
untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon
terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali sehari dan gambaran endoskopinya
normal.
d)
Pemantauan dengan
ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-pH dilakukan (terapi PPI
dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala GERD
yang tidak berespon terhadap terapi
empiris
berupa PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak memiliki
kelainan pada manometri.
E.
Sistem Skala Gejala
GERD berdasarkan Kuesioner
Secara
umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan diagnostik,
prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka
kuesioner yang digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis
penyakit yang dimaksud, yang tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam
kuesioner, sekaligus mengeksklusikan penyakit lain dengan probabilitas prediksi
yang tinggi (Stanghellini dkk, 2004).
Selain
karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak menunjukkan gejala
khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk diagnosis akurat,
banyak pasien GERD tidak memiliki kelainan gambaran endoskopi, sehingga
evaluasi tingkat keparahan gejala, kualitas hidup serta respon terapi menjadi
sangat penting. Kuesioner berisi gejala-gejala yang dinilai oleh pasien sendiri
saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai penelitian klinis
(Stanghellini dkk, 2004).
Di
antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak digunakan adalah Questionnaire
for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST), Frequency Scale for the
Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire (ReQuest), Reflux
Disease Questionnaire (RDQ), dan yang baru dikembangkan tahun 2009 yaitu GerdQ
Questionnaire (Stanghellini dkk, 2004), (Carlsson dkk, 1998), (Kusano dkk,
2004), (Bardhan dan Berghofer, 2007), (Shaw dkk, 2001), (Shaw dkk, 2008),
(Danjo dkk, 2009), (Jones dkk, 2009).
Sistem
skala FSSG dikembangkan di Jepang (Kusano dkk., 2004) dan banyak digunakan di
berbagai negara di luar Jepang. FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang
berhubungan dengan gejala-gejala yang tersering dialami oleh pasien, tidak
hanya heartburn dan acid taste, tetapi juga gejala-gejala
dispepsia seperti ’perut penuh’ dan ’merasa cepat kenyang’. Diagnosis GERD
dinyatakan dengan kuesioner ini pada nilai cut-off 8 poin (Kusano dkk,
2004).
Kuesioner
GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner terbaru, yang
diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan Gastroesophageal
Reflux Disease Impact Scale (GSIS) (Jones dkk, 2009), (Jones dkk, 2007),
(Rentz dkk, 2004), (Rubin dkk, 2008), (Wong dkk, 2003).
GerdQ
terdiri dari enam pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks, dispepsia dan
konsumsi obat untuk mengatasi gejala. Nilai cut-off untuk GerdQ adalah 8
poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut
memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi
dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh
gastroenterologist (Jones dkk, 2009).
F.
Penatalaksanaan GERD
·
Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup tidak
direkomendasikan sebagai
pengobatan primer GERD. Penelitian
objektif belum memperlihatkan
bahwa
alkohol, diet, dan faktor psikologis
berperan
signifikan dalam GERD. Modifikasi
gaya
hidup dapat mengurangi episode
refluks
individual; pasien yang mengalami
eksaserbasi
gejala refluks yang berhubungan
dengan makanan atau minuman
tertentu dapat direkomendasikan
untuk
menghindari makanan atau minuman bersangkutan.
Sebuah penelitian observasional
menyatakan bahwa
merokok merupakan faktor
risiko
independen GERD simtomatik.
Merokok
terkait dengan peningkatan
pajanan
asam pada esofagus (berdasarkan
pemeriksaan
pH-metri). Namun, tidak terdapat
penelitian intervensional yang
menunjang
penghentian merokok sebagai
terapi
primer GERD.
Penelitian observasional lain
memperlihatkan secara
konsisten bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko GERD. Namun, dari sebuah
penelitian yang menggunakan
kontrol, belum terbukti bahwa
penurunan berat badan dapat
memperingan
gejala, menyebabkan
relaksasi sfingter
esofagus bagian bawah ataupun
mengurangi
pajanan asam pada esofagus.
·
Terapi Medikamentosa
Sasaran pengobatan GERD adalah
menyembuhkan esofagitis,
meringankan gejala,
mempertahankan remisi, memperbaiki
kualitas
hidup, dan mencegah komplikasi. Terapi medikamentosa
untuk memperingan gejala
GERD mencakup pemberian antasida, prokinetik, H2-receptor antagnists (H2-RA), dan PPI. Untuk
mengontrol gejala dan
penyembuhan esofagitis pada GERD
erosif,
saat ini PPI merupakan pilihan yang
paling
efektif.
Hanya satu penelitian yang
memperlihatkan bukti
efikasi antasida dalam pengobatan
GERD. Uji klinik yang menilai
efikasi
famotidine, cimetidine, nizatidine,
dan
ranitidine memperlihatkan bahwa H2-
RA
lebih efektif dibanding plasebo dalam meringankan gejala GERD derajat ringan sampai sedang, dengan
tingkat respons 18-20
60% - 70%. Uji klinik PPI jangka pendek memperlihatkan penyembuhan yang lebih cepat dan
perbaikan heartburn dibandingkan
H2-RA atau prokinetik pada
penderita
esofagitis erosif. Di antara
berbagai
PPI, pemberian omeprazole,
lansoprazole,
pantoprazole, dan rabeprazole
dosis
standar menghasilkan kecepatan
penyembuhan
dan remisi yang sebanding
pada
kasus esofagitis erosif. Proton pump
inhibitor
juga efektif pada penderita
esofagitis
refluks yang resisten terhadap
H2-RA.
Dari penelitian jangka panjang
(sampai
11 tahun), penggunaan PPI relatif
aman;
insidens gastritis atrofik sebesar
4,7%
pada pasien H. pylori-positif dan 0,7% pada pasien H. pylori-negatif, serta
tidak ditemukan
displasia ataupun neoplasma.
Atas
dasar efikasi dan kecepatan perbaikan gejala, PPI dosis standar dapat
diberikan untuk pengobatan awal GERD erosif.
·
Bedah Anti-refluks
Pembedahan, yaitu dengan funduplikasi, merupakan salah satu
alternatif terapi di samping
terapi medikamentosa dalam
upaya
meringankan gejala dan menyembuhkan
esofagitis.
Namun, morbiditas dan mortalitas
pasca-operasi bergantung pada
keterampilan
dokter bedah. Karena itu,
pilihan
antara terapi medikamentosa dan
tindakan
bedah berpulang pada keputusan
pasien
maupun ketersediaan dokter
bedah.
Kalau saudara punya penyakit ini dan sudah brobat ke be berapa rumah sakit tapi tidak ada perubahan dan tak kunjung membaik, saya sarankan Coba lah konsultasi dan brobat dengan pengobatan trpadu ah 9779...
BalasHapusSaya berani merekomendasikan ini karna saya sendiri Dulu nya Juga sembuh setelah brobat ke sini...
Saya sembuh setelah 2 bulan rutin berobat ke beliau.
Waktu itu saya di Minta datang langsung. Tapi saya tidak bisa karna faktor biaya prjalanan Juga.
Akhirnya saya hanya minta pesan obat yg paling bagus agar saya bisa lekas sembuh.
Dan ALHAMDULILLAH saya habis 4 resep dan saya Sekarang sudah sembuh.
Jadi cobalah berobat dengan beliau...
Saya jamin demi allah beliau orang nya amanah dan tidak menipu pasien nya... Kalau ragu bisa datang langsung ketemu langsung.
Ini no Hp nya dan wa beliau.
0822-9423-8289.
Dengan bapak yusuf ikhwan ah 9779.