Analisa Kasus “Buprenorphine”
“Buprenorphine
Case”
- Buprenorphine : 21-siklopropil-7-α-[(S)-1-hidroksi-1,2,2-trimetilpropil]- 6,14-endo-entano-6,7,8,14-tetrahidrooripavina (Det et al. 1997)
Regulasi Narkotika, Psikotropika, Prekursor
- Menjamin ketersediaan bahan baku narkotika, psikotropika, prekursorfarmasi untuk memproduksi obat jadi guna keperluan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
- Mencegah kebocoran dan penyimpangan (diversi) narkotika, psikotropika, prekursor farmasi yang digunakan dalam pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dari jalur legal ke illegal atau sebaliknya.
- Pengawasan zat adiktif termasuk obat-obat yang sering disalahgunakan (dekstrometorfan, tramadol, karisoprodol, trihexyphenidyl dll).
Kajian menurut conceptual spheres
A. Global
sphere :
Nama produk : Subutex
Nama importir : Schering
Plough Indonesia (sebelum Buprenorphine diubah menjadi ke golongan Narkotika)
Berdasarkan UU No. 35 Tahun 2009, bahwa Golongan III Narkotika
berkhasiat sebagai pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan, potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Salah satu contohnya adalah Buprenorphine (Anon 2009). Dimana Lebih dari 20 tahun yang lalu,
buprenorfin diidentifikasi sebagai pilihan tepat untuk perawatan pemeliharaan
individu yang kecanduan opioid. Penelitian yang dilakukan selama dua dekade
terakhir telah mendokumentasikan keamanan dan efektivitas buprenorfin untuk
indikasi ini. Pemberlakuan DATA 2000 sekarang memungkinkan dokter di Amerika
Serikat untuk menawarkan bentuk buprenorfin yang disetujui secara khusus untuk
pengobatan kecanduan opioid (McNicholas
& Consensus Panel Chair 2004).
B.
Regulatory sphere
Perubahan golongan Buprenorphine, sebelumnya
pada UU no 5 tahun 1997 termasuk ke dalam Psikotropika golongan III kemudian
pada UU no 35 tahun 2009 diubah menjadi Narkotika golongan III. Terhentinya
impor Subutex (nama dagang Buprenorfin), menyebabkan para pecandu yang sedang
menjalankan terapi dengan menggunakan produk ini kehilangan pengganti
obat kecanduan mereka. Terputusnya suplai menyebabkan mereka yang sedang
menjalani proses penyembuhan dikhawatirkan akan tidak mampu mengatasi gejala
putus obat sehingga kembali lagi menggunakan heroin maupun putaw.. Berita
mengenai berhentinya impor substitusi oral dengan merk dagang Subutex terjadi akibat dari adanya undang-undang
baru tentang narkotika, yaitu UU No. 35 tahun 2009 menggantikan UU No. 22 tahun
1997.
C.
Monitoring sphere
“Karena masuk di dalam kategori narkotika, maka yang berwenang
mengimpornya hanya PT. Kimia Farma, sedangkan selama ini Subutex diimpor oleh Schering
Plough Indonesia. Hal ini dilakukan untuk memonitoring
pendistribusian Subutex.
D. Violating
sphere
Kalsifikasi subutex sangat sedikit dari jenis opiate
lain. Dan juga sangat mahal, dan menjadi mudah untuk didapat di black market.
Faktor ini memberikan kontribusi dan memperkuat angka kecanduan terhadap
subutex. Dunia internasional sudah mulai merasakan akibat dari subutex,
yang berkaitan didalam International Herald Tribune : “Pengkonsumsian buprenorphine meningkat tiga kali lipat
dari tahun 2000 ke 2004, sesuai Badan Kontrol Narkotik Internasional-UN,
peningkatan 1.7 milliar DDD (defined daily dose), penegasan dosis harian dari
data statistic pengkonsumsian obat WHO.
Di beberapa Negara seperti Finlandia, pelaporan 2005
badan Finlandia mengatakan “penggunaan gelap buprenorphine sebagai pengganti
opiate menjadi hal terpenting, sebagian pasar gelap, hampir menggantikan heroin”. Faktanya
buprenorphine harganya lebih murah dari heroin dan dapat diakses mudah di
pengembangan pasar illegal yang ada di beberapa Negara. Contohnya, pembuatan
buprenorphine di India, diselundupkan ke Nepal dan Sri Lanka juga
Bangladesh, 90 persen dari Negara itu penggunaannya disuntikkan sesuai laporan
tahun lalu dari UN Drug and Crime.
E. Sanction
sphere
Terjadi kasus penyalahgunaan dan pendistribusian illegal oleh dr.Harryanto budi seorang dokter
di Surabaya. Ia menjual Subutex kepada pasien yang tidak membutuhkannya sebagai
obat. Tetapi dengan dioplos bersama Alprazolam, dilarutkan dan diinjeksikan.
Karena kasus ini, dr.Harryanto Budi
dijerat dengan pasal 124 ayat (1) UU No 35 tahun 2009, Pasal 21
Permenkes No 3 Tahun 2015, Pasal 122 UU Narkotika dan Pasal 20 Permenkes No 3
Tahun 2015 (Anon n.d.).
F. Violations
monitored but not discovered
Masih banyak pelanggaran yang termonitor tapi tidak tercover. Seperti
pada contoh kasus diatas. Seorang dokter memang berhak meresepkan narkotika
kepada pasiennya, dengan catatan bahwa pasien tersebut tepat untuk diberikan
obat seperti Subutex. Tetapi ada kemungkinan pelanggaran tetap terjadi, seperti
dokter meresepkan Subutex kepada pasien yang tidak berhak menerimanya.
G. Violations
not monitored
Banyak orang di kelompok terapi Subutex yang menyalahgunakan obat ini.
Seharusnya Subutex digunakan secara
sublingual, tapi banyak yang malah menggunakannya dengan cara disuntik.
DAFTAR PUSTAKA
Anon, 282419873249076.
Anon, 2009. No Title.
Det, D.O.B. et al., 1997. UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 5 TAHUN
1997 DAFTAR PSIKOTROPIKA GOLONGAN I N-etil-1-fenilsikloheksilamina.
McNicholas, L. & Consensus Panel Chair, 2004. Clinical guidelines for
the use of buprenorphine in the treatment of opioid a`ddiction. Treatment
Improvement Protocol, 40(04–3939), pp.1–172. Available at:
http://www.buprenorphine.samhsa.gov/Bup_Guidelines.pdf.
Komentar
Posting Komentar